Asal Usul Nama Indonesia
Pada zaman purba kepulauan tanah air kita disebut
dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan
kepulauan kita dinamai Nan-hai atau Kepulauan
Laut Selatan. Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara, Kepulauan
Tanah Seberang, nama yang diturunkan dari kata Sansekerta,dwipa,
yang berarti pulau dan antara yang berarti luar atau seberang.
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu
menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Ramayang diculik Ravana,
sampai ke Suwarnadwipa, Pulau Emas, yaitu Sumatra
(sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi, Kepulauan
Jawa. Nama Latin untuk kemenyan adalahbenzoe, berasal dari bahasa
Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab
memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu
hanya tumbuh di Sumatra.
Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh
orang Arab, bahkan bagi orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Para
pedagang di Pasar Seng, Mekkah menyebut, “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh
Jawi” atau “Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa”.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa
Eropa yang pertama kali datang beranggapan jika Asia hanya terdiri
dari Arab, Persia , India , dan Cina. Bagi mereka,
daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah
Hindia. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia
Tenggara dinamai “Hindia Belakang”,
sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia”
(Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur”
(Oost Indie, East Indies , Indes Orientales). Nama lain yang juga
dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (*Maleische Archipel,
Malay Archipelago , l’Archipel Malais).
Ketika tanah ini dijajah oleh bangsa Belanda, nama
resmi yang digunakan adalah Nederlandsch- Indie atau Hindia Belanda,
sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah Hindia Timur
atau To-Indo.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama
samaran Multatuli, pernah mengusulkan namayang spesifik untuk menyebutkan
kepulauan tanah air kita, yaitu
Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula
berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi
orang Bandung , Insulinde mungkin hanya dikenal sebagai nama toko
buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker
(1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik
Multatuli), memopulerkan suatu nama
untuk tanah air kita yang tidak mengandung
unsur kata “ India ”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu
istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi
mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman
Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 Lalu
diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom
pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan
Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa
Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa
(antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari
Jawadwipa (Pulau Jawa). Kata-kata ini sendiri termuat dalam Sumpah Palapa
yang dikumandangkan Gajah Mada, ”Lamun huwus kalah Nuswantara, isun
amukti palapa”, “jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah
saya menikmati istirahat”. Oleh Dr. Setiabudi katanusantara zaman
Majapahit tersebut diberi pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini
memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua
samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi
Nusantara yang modern. Istilah Nusantara dari Setiabudi ini dengan
cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia
Belanda. Sampai hari ini istilah Nusantara tetap kita pakai untuk
menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai
Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia.
Lalu dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul?
Tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal
of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869),
seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas
Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris,
George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi
majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel “On
the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian
Nations.” Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba
saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki
nama khas, a distinctive name, sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan
sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua
pilihan nama, Indunesia atau Malayunesia, nesos, dalam bahasa
Yunani berarti Pulau. Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis, “…
the inhabitants of the Indian Archipelago or
malayan Archipelago would become respectively Indunesians or
Malayunesians.”
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia, Kepulauan Melayu, daripada
Indunesia atau Kepulauan Hindia, sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras
Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan
Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu
dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan
istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV
itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The
Ethnology of the Indian Archipelago, Pada awal tulisannya, Logan pun
menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan ini, sebab istilah “Indian
Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama
Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o
agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan
tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan,“Mr. Earl suggests the
ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I
prefer the purely geographical term Indonesia , which is merely a
shorter synonym for the Indian Islands or the
Indian Archipelago.”Ketika mengusulkan nama Indonesia agaknya Logan
tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan
negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka
bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam
tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di
kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar
etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905)
menerbitkan bukuIndonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak
lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara
ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian
inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda,
sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie
van Nederlandsch-Indie tahun 1918.
Putra pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi
Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ketika di buang ke negeri Belanda tahun
1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan namaIndonesische Pers-bureau.
Pada dasawarsa 1920-an, nama Indonesia yang merupakan istilah ilmiah dalam
etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan
tanah air kita, sehingga nama Indonesia akhirnya memiliki makna politis, yaitu
identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah
Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels
Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan
mahasiswa Hindia di Negeri Belanda, yang terbentuk tahun 1908 dengan nama
Indische Vereeniging, berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau
Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka.
Dalam satu tulisannya Bung Hatta menegaskan, “Negara Indonesia Merdeka yang
akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut Hindia
Belanda. Juga tidak Hindia saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan
India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een
politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa
depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha
dengan segala tenaga dan kemampuannya.“
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club
pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama
menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten
Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah air yang
mula-mula menggunakan nama Indonesia. Akhirnya nama Indonesia dinobatkan
sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi
Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada
bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad, Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho
Purbohadidjojo, dan Sutardji Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah
Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-
Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah
namun masukkanya Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 membuat Hindia Belanda
‘lenyap’ dan pada akhirnya tergantikan dengan Republik Indonesia.
Pancasila
Pancasila adalah ideologi dasar bagi
negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: paƱca berarti
lima dan berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule
(Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang
berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun
1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
1.
Sejarah Pancasila
Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai
dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :
·
Lima
Dasar oleh Muhammad Yamin, yang
berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai
berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan,
dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu
berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah
lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato
Yamin tersebut.
·
Panca
Sila oleh Soekarno yang dikemukakan
pada tanggal 1 Juni 1945. Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut:
Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh
Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang
banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan
ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan
ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila.
Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan
negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah
Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen
penetapannya ialah :
·
Rumusan
Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) – tanggal 22 Juni 1945
·
Rumusan
Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar – tanggal 18 Agustus 1945
·
Rumusan
Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat – tanggal 27
Desember 1949
·
Rumusan
Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara – tanggal 15 Agustus
1950
·
Rumusan
Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit
Presiden 5 Juli 1959)
2.
Hari Kesaktian Pancasila
Pada tanggal
30 September 1965, terjadi insiden yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S).
Insiden ini sendiri masih menjadi perdebatan di tengah lingkungan akademisi
mengenai siapa penggiatnya dan apa motif dibelakangnya. Akan tetapi otoritas
militer dan kelompok reliji terbesar saat itu menyebarkan kabar bahwa insiden tersebut
merupakan usaha PKI mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis, untuk
membubarkan Partai Komunis Indonesia dan membenarkan peristiwa Pembantaian di
Indonesia 1965–1966.
Pada hari itu, enam Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh oleh oknum-oknum
yang digambarkan pemerintah sebagai upaya kudeta. Gejolak yang timbul akibat
G30S sendiri pada akhirnya berhasil diredam oleh otoritas militer Indonesia.
Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari
Kesaktian Pancasila.
3.
Butir-butir pengamalan Pancasila
Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan
kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis
bagi pelaksanaan Pancasila.
Ketetapan ini kemudian dicabut dengan Tap MPR no. I/MPR/2003 dengan 45
butir Pancasila. Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir
ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
1. Bangsa
Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama
dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
kepada orang lain.
1. Mengakui
dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
1. Mampu
menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila
diperlukan.
3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila
keempat
1. Sebagai
warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai
hasil musyawarah.
6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai
kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan
bersama.
10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk
melaksanakan pemusyawaratan.
1.
Mengembangkan
perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak orang lain.
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan
terhadap orang lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya
hidup mewah.
8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
Makna Lambang Pancasila
1. Sila pertama dengan
lambang Bintang – Ketuhanan yang Maha Esa
Bintang pada lambang sila pertama artinya adalah
menerangi dan memberi cahaya bagi bangsa dan negara. Terus memberi cahaya
seperti tuhan yang maknanya adalah jalan terang agar negara dapat menempuh
jalan yang benar.
2.
Sila Kedua Lambang
Rantai – Kemanusiaan yang adil dan beradab
Rantai merupakan lambang dari sila kedua, rantai
ini memiliki makna yang sangat besar dan terdiri dari rantai bulat
(melambangkan perempuan) dan rantai persegi (melambangkan laki laki). Rantai
yang saling berkait melambangkan bahwa setiap rakyat baik perempuan dan laki
laki harus bersatu padu untuk agar bisa menjadi kuat seperti rantai.
3.
Sila Ketiga Lambang
Pohon Beringin – Persatuan Indonesia
Pohon beringin merupakan pohon yang besar memiliki
ranting luas yang dapat menjadi tempat berteduh yang menyejukkan. Selain itu
pohon beringin juga memiliki akar yang sangat kuat dan menjalar di mana mana,
seperti keanekaragaman suku dan bangsa indonesia yang harus tetap bersatu.
4.
Sila Keempat Lambang
Kepala Banteng – Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
Kepala banteng memiliki makna bahwa hewan yang suka
berkumpul dan memiliki kepala yang tangguh. Banteng merupakan hewan yang
memiliki jiwa sosial yang tinggi dan suka berkumpul. Artinya kita harus rajin
bermusyawarah dalam menyelesaikan suatu masalah dan dalam mengambil keputusan.
5.
Sila Kelima Lambang
Padi dan Kapas- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Padi dan kapas ini melambangkan kebutuhan dasar
manusia, padi yang menjadi dasar untuk makanan pokok dan kapas untuk kebutuhan
dasar sandang. Jadi lambang ini bertujuan untuk memberikan kebutuhan dasar
setiap bangsa Indonesia secara merata dan adil.
Makna Lambang Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Lambang Negara Republik
Indonesia adalah Garuda Pancasila, Hal ini dipertegaskan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951
tentang Lambang Negara yang menetapkan Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara
Republik Indonesia.
Penggunaan
Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara juga diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009
yang menyatakan bahwa “Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda
Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung
yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan Semboyan Bhinneka
Tunggal Ika ditulis diatas pita yang dicengkeram oleh Garuda”.
Burung Garuda
berwarna kuning emas mengepakkan sayapnya dengan gagah menoleh ke kanan. Dalam
tubuhnya mengemas kelima dasar dari Pancasila. Di tengah
tameng yang bermakna benteng ketahanan filosofis, terbentang garis
tebal yang bermakna garis khatulistiwa, yang merupakan lambang geografis
lokasi Indonesia.
Secara tegas bangsa Indonesia telah memilih burung Garuda sebagai
lambang kebangsaannya yang besar, karena garuda adalah burung yang penuh
percaya diri, energik dan dinamis. Ia terbang menguasai angkasa dan
memantau keadaan sendiri, tak suka bergantung pada yang lain. Garuda yang
merupakan lambang pemberani dalam mempertahankan wilayah, tetapi dia pun akan
menghormati wilayah milik yang lain sekalipun wilayah itu milik burung yang
lebih kecil. Warna kuning emas melambangkan bangsa yang besar dan berjiwa
priyagung sejati.
Burung garuda yang juga punya sifat sangat setia pada kewajiban sesuai
dengan budaya bangsa yang dihayati secara turun temurun. Burung garuda
pun pantang mundur dan menyerah. Legenda semacam ini juga diabadikan
sangat indah oleh nenek moyang bangsa Indonesia pada candi dan di berbagai
prasasti sejak abad ke-15.
A.
Makna Lambang Garuda
Pancasila
·
Burung Garuda
melambangkan kekuatan.
·
Warna emas pada burung Garuda melambangkan kejayaan.
·
Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia.
Masing-masing simbol di dalam
perisai melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu:
1. Bintang melambangkan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa [sila ke-1].
2. Rantai melambangkan
sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab [sila ke-2].
3. Pohon
Beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia [sila ke-3].
4. Kepala
banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan [sila ke-4].
5. Padi
dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
[sila ke-5].
·
Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti
berani dan putih berarti suci. Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai
melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa.
B.
Makna Jumlah Bulu pada
Burung Garuda Pancasila
Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17
Agustus 1945), antara lain:
·
Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
·
Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
·
Jumlah bulu dibawah perisai/pangkal ekor berjumlah
19
·
Jumlah bulu pada leher berjumlah 45
·
Pita yang dicengkeram oleh burung garuda
bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal
Ika yang berarti “walaupun berbeda beda, tetapi tetap satu”.
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tujuan Negara Indonesia
tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-an
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadil-an sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Sumber :
UUD 1945